Penyebab Terjadinya Anxiety pada Generasi Millennial atau Remaja

Kehidupan terus berprogress dengan banyak sekali perubahan. Terutamanya, saya lahir pada garis kelahiran generasi milenial. Apakah kalian sering mendengar istilah Milleneal like monsters, worst generation? Melansir pada Harvard Business Review mental-health, 50% millennial telah meninggalkan pekerjaan karena alasan kesehatan mental, sejak 2013 ada peningkatan diagnosis depresi sekitar 47%. Bagaimana tidak hidup dimasa sekarang banyak dituntut untuk berkompetisi bisa terus produktif bekerja dalam banyak kesibukan, menjadi anak muda yang serba bisa serta dituntut untuk bisa punya apapun dan bisa kemanapun. Maka dari itu dalam tulisan ini akan menjelaskan beberapa hal penyebab terjadinya anxiety dan kecemasan pada Generasi Millineal atau Remaja.

Penyebab terjadinya anxiety pada remaja
Anxiety Woman

seperti bercermin dimasa Pandemi kemarin, kitapun dituntut oleh kehidupan serta pikiran kita untuk selalu produktif. Seolah-olah rebahan, mengistirahatkan otak dan tidak menghasilkan apapun adalah sebuah kemalasan yang nantinya berpangkal pada eksistensi keberadaanya sebagai manusia. Akibatnya kita sebagai manusia atau tepatnya milenial sering merasa tidak aman, merasa tertinggal mengerjakan sesuatu, merasa kecemasan yang tidak menentu memikirkan apa yang bisa dilakukan agar terus-terus melakukan sesuatu, selalu bekerja atau yang kita sebut produktif. Tuntutan-tuntutan tersebut didukung dari banyak sisi, mari kita runtutkan. Berikut beberapa penyebab anxiety:

1. Media Sosial

Dimulai dari hal-hal yang tidak kita sadari dan sederhana yaitu penggunaan media sosial yang rutin dan pastinya sudah menjadi gaya hidup. Ya, kita tidak bisa menghindari dinamisnya produk globalisasi karena akan banyak ditemukan efek negatif dan positif yang bisa dapat kita pelajari. Pada dasarnya media sosial itu dirancang untuk saling bisa mengabari dan berbagi informasi kemanapun, pada produk aplikasi media-media sosial ini saya yakini pendirinya pun sudah membaca masa depan tingkah laku dan kebiasaan manusia. Sebagai contoh seseorang bukan main senang apabila foto yang ia unggah mendapat like serta komentar yang positif, hal tersebut akhirnya menjadi dopamin yang terus menjadi candu sehingga seseorang melakukanya berulang-ulang ataupun sebagian dari kita pasti ada yang merasa sangat terdukung secara during dari postingan motivasi atau senang akan informasi yang dibagikan.

Namun apabila berpandang dari sisi negatif khususnya pada kesehatan mental, Menurut Neha Chaudhary seorang psikiater di Harvard Medical School “ Penggunaan sosial media sangat dekat dan erat korelasinya dengan kecendrungan depresi, anexiety, jatuhnya harga diri, dan kesepian. Rasa-rasa tersebut didapat setelah seseorang membuka sosial media yang kelilingi dari teman hingga influencer yang diikutinya. Pendapat tersebut saya bandingkan dengan apa yang saya dan lingkungan saya rasakan, walaupun saya tahu mungkin dari kita tidak merasa seperti yang disebutkan diatas, namun terkadang otak kita mencerna informasi kemajuan kehidupan teman-teman online kita yang sudah melakukan ini dan itu, berpergian kesana kemari serta mengunggah kesibukan apa yang sedang ia kerjakan dan pada saat itu juga kita mulai membandingkan “Kehidupan mereka dengan diri kita”.

Perasaan cemas tersebut lalu timbul, meskipun terkadang kita memungkiri bahwa tidak sekalipun ada perasaan iri dan ingin seperti mereka, namun perasaan cemas mengobrak-abrik diri kita untuk melakukan sesuatu, dan bertanya pada diri sendiri “apakah hanya saya yang tidak sedang melakukan apa-apa, tidak berkembang sebagai anak muda? Atau bahkan hidup dengan tidak ada progress”. Otak kita terus memproduksi kecemasan, sehingga tidak percaya diri dalam mengambil keputusan, merasa salah langkah dan tidak mampu mengejar ketinggalan yang ada.

See? anxiety strike again !!!

2. Hustle Culture

  Susunan pemikiran kedua penyebab terjadinya anxiety dan kecemasan pada Generasi Millineal atau Remaja adalah seperti beberapa pengalaman saya semenjak saya lulus kuliah dan masuk kedalam dunia kerja saya mengerti kita secara tidak langsung sistem Neolibralisme atau kapitalisme masuk untuk mengatur sistem kehidupan yang kita jalankan. Sistem Ekonomi pasar mengatur kita untuk tetap harus sibuk terus bekerja dan ingin memiliki banyak penghasilan khususnya yang bekerja pada perusahaan-perusahaan. Bekerja terlalu larut hingga bangga telah menjalankan produktifitas tinggi, namun tanpa disadari seseorang tersebut telah bekerja keras  untuk  memperkaya pemodal dan yang punya kuasa pada perusahaan tersebut.

3. Konsep Membanding-Bandingkan

Selain pada sektor ekonomi dan pekerjaan, Sistem pendidikan pun ikut tergerus paham Neolibralisme, murid-murid tercetak belajar dari bangku sekolah hingga perkuliahan diajari untuk mempelajari tuntutan ekonomi yang ada sehingga ketika kita sudah selesai kuliah pikiran kita diatur untuk berorientasi bekerja disuatu perusahaan.

Proses seperti ini diperkuat lagi dengan figur orang-orang hebat yang digadang-gadangkan punya berpenghasilan besar dan bisa mendapatkan material apa yang ia mau. Kebanyakan kita ingin mencapai kebahagiaan seperti mereka, bekerja, produktif dan menghasilkan sesuatu. Kesadaran saya pada hal ini lebih dalam terbangun pada masa pandemi sekarang, banyaknya acara-acara berbasis during seperti webminar, live instagram, ataupun worshop duringpun banyak bermunculan dan ikut menuntut kita untuk terus bisa produktif dan terus menghasilkan sesuatu walaupun tetap dirumah saja .

Permasalahanya produktifitas ini diukur pada jumlah finansial  dan bisa melakukan apapun (Multitasking) bahkan disaat pandemi ini terjadi. Tapi apakah pernah berfikir berfikir untuk meminimalisir kecemasan dengan melihat kesenangan dapat diperoleh dari sisi apa saja? serta berfikir bahwa kita tetap akan bisa bahagia tanpa tuntutan tersebut?

Seperti mengistirahatkan diri sendiri dengan tidak perlu memikirkan apapun secara berlebihan, merawat tubuh, menangguk kopi dan makan makanan yang kamu suka? Atau memproduktifkan diri dengan selalu menjaga hubungan baik dengan keluarga, pasangan, bahkan kawan-kawan lama? dan masih banyak kegiatan yang bisa membuatmu senang tanpa memikirkan rasa cemas dengan selalu berkata “Bahwa hidup saya tidak produktif”.

Selalu ingat bahwa kita berada di titik mulai yang berbeda, mendapat hak istimewa (priviledge) yang berbeda, lahir dikeluarga yang berbeda, ada banyak diluar sana yang sudah bekerja keras hanya untuk mendapatkan kebahagiaan finansial bahkan untuk keluar dari garis kemiskinan yang teramat susah, kitapun hidup bukan untuk berkompetisi, hidup dijalur dan jalan masing-masing dan bisa tetap survive memakai cara kita masing-masing.

Jadi jangan terus memaksakan diri untuk bisa berproduktif dangan acuan akhir yang salah, rawat kehidupan yang lebih ideal dengan “bekerja karena untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja”

Berikut beberapa Tips sederhana dan yang bisa kamu lakukan ketika kamu merasa anxiety :

  1. Kelola Stress dengan Baik serta Temukan Kegiatan yang bisa mengurangi rasa cemas dan anxiexy yang kamu hadapi.
  2. Melakukan Aktivitas Pola Hidup Sehat
  3. Istirahat yang cukup
  4. Temukan Support System (Keluarga/Teman/ Pasangan atau lainnya)
  5. Konsultasi dengan Ahli Psikiater

Mungkin dari beberapa opini penyebab terjadinya anxiety pada Generasi Millinneal atau Remaja diatas ada beberapa yang relate dan kamu pernah mengalami juga. Kesimpulannya adalah lakukan kesenangan versi dirimu, tapi harus bisa survive dalam hidup yang tentunya juga dengan versi terbaikmu. Just focus what will you could do !! cari tahu apa yang bisa jadi kelebihan dalam diri kamu, dan kembangkan bidang tersebut secara maksimal.

Baca Juga >>>Hard Skill

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *