Cara Berpikir Positif Dengan Bijak

Dari dulu, kita selalu diajarkan oleh sekitar kita untuk selalu berpikir positif dalam menatap kehidupan. Kita selalu di doktrin bahwa hidup kita akan lebih baik dengan cara berpikir positif. Namun, seringkali justru kita terjebak pada cara berpikir positif yang justru membuat kita naif melihat persoalan, hingga akhirnya kita mudah tertipu bahkan diperdayakan. Padahal, yang lebih dibutuhkan dalam berbagai situasi adalah cara berpikir positif yang bijak. 

Cara berpikir positif

Semua Tergantung Paradigma

Saya pernah membaca satu buku yang cukup membuat saya terkesan setelah membacanya; bahkan cukup mengubah cara saya memandang hidup di dalam berbagai kesempatan. Di buku tersebut, ditulis bahwa penulisnya sedang berada di transportasi umum, dan pada saat itu suara yang sangat bising dan mengganggu terdengar dari pojok kiri bus.

Terdengar seorang anak berusia 12 tahun sedang menangis sekencang-kencangnya di sebelah seorang bapak tua yang berumur sekitar 50-an. Penulis tersebut cukup heran melihat ada anak sebesar itu menangis begitu kencang; dan anehnya lagi bapak sebelahnya tidak berusaha menenangkannya dan mengingatkannya bahwa terdapat banyak penumpang yang bisa terganggu karena tangisannya. Terlihat beberapa penumpang sedikit risih dengan hal tersebut, sampai mencari headset yang terdapat di dalam tasnya, lalu memasangnya. Saya juga melihat beberapa ibu-ibu sedang berbisik dengan wajah yang sedikit kesal dengan kondisi yang terjadi. Ada juga seseorang yang menutup telinganya seolah sangat terganggu. Suasana bus sedikit menyebalkan, disebabkan oleh suara dari satu anak usia 12 tahun yang menangis tak terbendung. 

Sang penulis pun menghampiri Bapak disebelahnya dan bertanya “Maaf, apakah Bapak bisa menenangkan anak bapak; karena tampaknya sangat mengganggu penumpang yang lain” tanyanya tanpa ragu. Sang bapak punya berkata dengan nada sedikit berat “saya pun sebenarnya ingin bisa menenangkan anak ini, tapi saya tidak terbayang kalau berada di posisinya; dimana ayah ibunya satu jam yang lalu dikabarkan mengalami kecelakaan dan meninggal dunia, meninggalkan dirinya seorang anak yatim piatu satu-satunya.”

Sang penulis pun terkejut, menepuk pundak anak tersebut dengan perasaan iba dan tidak enak sembari berkata “turut berduka cita nak, semoga mereka tenang disana dan engkau dikuatkan Tuhan.” Satu halte kemudian, bapak dan anak tersebut turun dan meninggalkan bus dengan suara tangisan yang masih terdengar hingga beberapa ratus meter kemudian. Hal tersebut membuatnya terkejut. Informasi yang sedikit mengubah segalanya. Paradigma berubah karena satu informasi yang ia ketahui. 

Paradigma Menentukan Bagaimana Cara Berpikir Positif Kita

Dalam banyak kejadian, kita bisa mengibaratkannya dengan koin yang memiliki dua wajah; bisa baik dan bisa buruk; relatif tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Mungkin kita pernah mendengar kisah tentang seorang Bapak, Anak, dan Keledainya yang mencoba untuk mengubah komposisi yang awalnya sang Bapak berjalan dan anaknya menunggangi keledai, berujung pada mereka yang sama-sama menggendong keledai; dan semuanya karena mendengar paradigma orang lain tentang apa yang “seharusnya lebih etis” (https://fathulwahid.wordpress.com/2008/02/15/anak-bapak-dan-kuda/) .

Ini fenomena yang kerap kali terjadi dalam kehidupan kita, dimana kita mudah memakan opini orang lain karena menurut kita “itu merupakan kebenaran”. Seberapa sering kita punya cara berpikir yang kita pilih karena kita menganggap itu benar karena diimani oleh orang-orang disekitar kita, bahkan opini tersebut tersebar di media sosial. Disini letak dimana kita perlu berhati-hati dengan bagaimana cara kita berpikir. Lalu kita disodorkan dengan doktrin tentang pentingnya melihat segala sesuatu dengan cara positif. Pertanyaannya adalah, bagaimana cara berpikir positif yang tepat? 

Bersabar, Lalu Bersyukur

Semua hal yang kita hadapi belum tentu menyenangkan. Untuk berharap bahwa segala situasi sesuai dengan apa yang kita harapkan adalah hal yang mustahil, namun seringkali kita berharap demikian. Maka yang bisa kita kendalikan bukanlah kejadian yang terjadi di luar kita; entah itu ujian tsunami, kerabat yang meninggal, atau telepon genggam yang dicuri; tapi bagaimana cara kita merespon kondisi. Perkataan guru, orangtua, hingga pemuka agama semuanya sepakat; ujian harus dihadapi dengan kesabaran. Tapi tidak cukup bersabar menahan diri dari perbuatan ataupun perkataan tidak terpuji, harus ada upaya untuk merenung dan mengambil hikmah, lalu mensyukuri fakta bahwa kita berhasil melihat hikmah tersebut. Ini merupakan hal yang sering kita lewati dalam proses kita menghadapi ujian kehidupan.

Tidakkah kita lelah meluangkan usaha dan waktu untuk memikirkan 1000 alasan kenapa kejadian tersebut terjadi karena alasan-alasan yang negatif, lalu tidak menyisakan sedikitpun energi dan waktu untuk merenung mengambil hikmah lalu mensyukuri proses tersebut? Karena segala ujian adalah kesempatan untuk kita berkembang menjadi pribadi yang bukan hanya lebih baik dan hati-hati, tapi lebih bijak sebagai seorang pribadi. 

Berpikir Positif Dengan Cara yang Proporsional

Pembahasan ini sedikit sensitif, tapi berapa banyak berita yang kita kita lihat memberitakan orang-orang yang sampai harus menyiksa dirinya atau orang lain karena sebuah kejadian diluar kendalinya? Lalu kita bereaksi dengan gelengan kepala dan begitu banyak pertanyaan “kenapa ia dapat melakukan hal yang begitu menyakitkan yang disebabkan oleh hal yang sangat sepele?” Tanpa sadar, seberapa seringkah kita juga melakukan hal yang sama? Bereaksi berlebihan karena hal yang sangat mendasar dan basic? Seberapa penilaian kita tentang sebuah masalah sesuai dengan realita masalah yang ada? 

Cara Berpikir Positif

Berpasrah Boleh Jadi Solusi

Pasrah seringkali diartikan dengan konotasi negatif, seolah kita menyerah dengan keadaan. Padahal, boleh jadi pasrah adalah solusi ketika keadaan sudah tidak bisa dikendalikan, atau mengendalikannya adalah hal yang menghabiskan banyak energi. Ketika saya masih SMA, saya pernah ngobrol berdua dengan guru saya selepas sembahyang Jum’at. Pada saat itu, kita sedang berdialog membicarakan tentang conflict management, salah satu ilmu yang mungkin tidak ada di kurikulum pendidikan kita namun krusial untuk kita pernah belajar di usia muda kita. Beliau menceritakan tentang sebuah jebakan yang diperuntukkan untuk menangkap monyet, terbuat dari kelapa dan di dalamnya diisi makanan. Jebakannya akan berjalan ketika ada monyet memasukkan tangannya ke dalam kelapa tersebut, monyet tersebut tidak dapat melepaskan tangannya sambil mengambil apa yang ada di kelapa tersebut; kecuali mereka mau melepaskan dan merelakan makanan yang ada di kelapa tersebut.

Menariknya, banyak monyet terperangkap dengan perangkap tersebut, berusaha sekuat mungkin mengambil apa yang di dalam kelapa, lalu ditangkap oleh para pemburu monyet. Ketika kita terlalu mencoba menggenggam dan mengontrol apa yang sebaiknya kita relakan, kita akan terjebak dalam jebakan yang terasa tak ada ujungnya. Letak kita berpikir positifnya adalah dengan berpasrah bahwa “things will be fine”. Salah satu konsep yang sudah cukup familiar di masyarakat adalah tawakkal, konsep pasrah dimana kita menyerahkan segala beban yang tidak bisa kita kendalikan pada yang Maha Kuasa. 

Berpikir Positif Dengan Harapan

Ada dua tipe harapan; yang negatif dan positif. Harapan yang negatif cenderung membuat kita bergantung pada suatu kondisi yang seringkali sulit untuk kita bisa dikondisikan sesuai dengan apa yang kita harapkan. Harapan satunya lebih terkesan optimis dan realistis. Viktor F. Frankl merupakan seorang psikolog yang sering meng-endorse tentang pentingnya harapan, dan beliau pernah mengutip kutipan terkenal dari Friedrich Nietzsche “He who has a why to live for can bear almost any how.” Viktor merupakan salah satu psikolog yang pernah merasakan penderitaan di penjara selama bertahun-tahun di Auswitch, salah satu penjara kejam pada masa pembantaian kaum Yahudi di Eropa. Dari pengalamannya, Viktor mengamati tawanan mana yang berhasil bertahan dan mana yang gagal. Pembeda dari mereka satu; harapan yang mereka miliki. Harapan seringkali menjadi alasan kenapa kita bertahan. Harapan tentang suatu hari Indonesia akan merdeka dari penjajahan adalah harapan sebuah generasi yang membuat generasi tersebut mempertahankan negaranya, dengan harapan suatu hari negaranya merdeka. Bayangkan kita menjalani kehidupan selama bertahun-tahun tanpa sebuah mimpi; kemanakah kita mau membawa hari-hari kita? Ada perbedaannya antara harapan negatif dan positif, dan perbedaannya terletak pada bagaimana cara kita berharap dan seberapa harapan tersebut “worth it” untuk kita pertahankan. 

Cara Berpikir Positif Tanpa Naif

Beberapa tahun lalu, topik mengenai toxic positivity sempat menjadi trending topic di internet. Secara definisi, toxic positivity adalah perilaku yang menuntut diri sendiri maupun orang lain untuk selalu memiliki pikiran positif dan menolak atau mengabaikan segala jenis emosi negatif atau pengalaman sulit. Selalu berpikir positif hingga mengabaikan emosi negatif lainnya ternyata dapat berpengaruh buruk terhadap kesehatan mental. Saya sering menemukan ini pada sekitaran saya yang terlalu banyak mengkonsumsi konten-konten produktivitas dan video-video motivasi.

Afirmasi dapat menjadi toxic apabila konteks masalah belum sepenuhnya dipahami. Contohnya adalah mencoba untuk mengafirmasi seorang kawan yang baru kehilangan keluarganya dengan kata-kata “udah, gausah berlarut-larut dalam kesedihan, tetap semangat ya” adalah cara terbaik untuk memutus hubungan pertemanan selamanya. Cara berpikir positif dalam konteks ini adalah meyakini bahwasanya orang tersebut bisa melewati semua tantangan ini, namun di saat yang sama mencoba paham dengan kondisi dan menyampaikan simpati.

Berpikir Positif dengan Doa

Dalam Islam, saya diajarkan bahwasanya Tuhan sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Artinya, apapun yang kita yakini terkadang menjadi realita, karena realita kita tergantung pada persepsi kita. Semua agama mengajarkan pengikutnya untuk berdoa dan meminta pertolongan pada Tuhan. Dialog kita pada Tuhan adalah obrolan paling jujur yang bisa kita jalin, karena Tuhan Maha Mengetahui segala sesuatu yang kita perbuat.

Doa adalah dialog cinta dan kasih sayang yang bisa mengubah segala kondisi keterpurukan menjadi kekuatan yang membuat kita lebih percaya menghadapinya. Bagi saya, doa adalah cara berpikir positif terbaik yang membuat kita bergantung bukan pada angan-angan, tapi pada sang Pencipta segalanya. Apabila Anda tertarik untuk membaca artikel lainnya tentang cara hidup bahagia, silakan membaca artikel satu ini dari salah satu kontributor hubstler.

Berbagi Positifitas Dengan Totebag

Berbagi positifitas tak perlu rumit. Kita tidak perlu selalu memberikan afirmasi positif pada sekitar kita di setiap pagi yang cerah, berharap mood orang-orang bisa naik. Terkadang, kita bisa menggunakan media-media sederhana untuk mengekspresikan kebahagiaan dan positifitas. Salah satunya adalah dengan totebag, tools ramah lingkungan yang trendy dan bisa menjadi media kita mengekspresikan isi pikiran dan identitas kita.

Tidak perlu capek-capek mencucinya seperti t-shirt, dan sangat praktis untuk dipakai setiap hari. Artidea adalah salah satu brand totebag custom yang dapat menjadi solusi bagi Anda yang mengidamkan media totebag, sesuai dengan selera Anda. Silakan cek lebih lanjut instagram Artidea dan miliki totebag sesuai selera Anda. Setidaknya kemanapun Anda pergi, Anda bisa membuat satu orang tersenyum.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *