Hustle Culture dan Generasi Millennial, Hard Work atau Toxic Positivity?

photo of a working table, illustration of hustle culture
Photo by Daria Shevtsova on Unsplash

“Gila bro, udah 3 hari gue kerja 9 to 4 mulu. Capek banget.”


“Lah, enak dong kelar cepet.”

“4 am.”

Instagram: @overheardjkt, 6 Oktober 2021

Kalo lo ngeklik artikel ini karena merasa relate sama judulnya, gue mau ucapin selamat datang buat, para generasi hustle culture. Dilansir dari The Finery Report, hustle culture atau budaya gila kerja adalah sebuah lingkungan hidup serba cepat yang “sepaket” dengan kerja dan usaha tiada henti untuk mengejar mimpi. Atau simple-nya, overworking to the point that it becomes a lifestyle. Budaya ini berawal dari pengusaha-pengusaha kelas kakap di Amerika, yang dijuluki sebagai “the hardest working nation in the planet“, yang percaya kalau mengorbankan jam istirahat itu necessary untuk mencapai kesuksesan. Bahkan Elon Musk pernah mengatakan “nobody ever changed the world on 40 hours a week“.

Di Indonesia, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta, hustle culture udah menjadi hal yang umum banget buat ditemui. Hampir semua orang hidup dengan gaya hidup tersebut, sampai-sampai muncul kesan kalau tidur lo masih cukup, atau lo masih punya banyak waktu buat nongkrong sama temen, berarti lo ngga hustling enough. Menurut wawancara yang dilakukan Vice Indonesia ke beberapa generasi millennial dengan profesi berbeda di tahun 2020, mereka menyatakan bahwa bekerja 10-20 jam dan tidur hanya 3-4 jam setiap harinya adalah hal yang normal. Bahkan ga sedikit dari mereka yang mengorbankan kesehatannya demi pekerjaan.

“Kerja terus deh lo, gapernah main lagi sama kita!”

“Iya lah, udah ga jaman cari fun, sekarang carinya funds.”

Instagram: @overheardjkt, 15 Oktober 2021

When being busy feels so right, that’s where toxic positivity kicks in. Sadar ga sih, kalo hustle culture justru bikin hidup jadi hilang keseimbangan? Ketika pekerjaan adalah hidup lo, hal lain jadi seolah kehilangan makna. Setiap dapet hari libur, malah merasa lagi buang-buang waktu dan “berusaha” untuk jadi produktif, padahal istirahat juga penting. Mulai merasa hilang energi buat lakuin hobi, hilang waktu buat bersosialisasi, bahkan perasaan bersalah ketika harus istirahat karena merasa dituntut untuk selalu jadi produktif. Ring a bell?

Kalo kalian memang udah terlanjur terjebak dalam budaya gila kerja ini, tenang, kalian ngga sendiri. Gue punya beberapa tips, supaya kalian bisa balikin balance & necessary happiness di hidup kalian sekarang.

Photo by Avel Chuklanov on Unsplash

Set Your Priority!

Untuk menghindari burnout karena hustle culture, lo harus bisa tentuin prioritas lo. Mana yang penting, penting tapi bisa nanti, ga penting-penting amat, dan yang ga penting sama sekali. Fokus sama hal-hal yang penting dan urgent, sisanya bisa menyusul. Untuk hal yang penting tapi bisa nanti, jangan lupa di plan out supaya tetep on track.

Scheduling and Slowing Down!

Ini sifatnya essensial kalau lo pengen lepas dari budaya gila kerja ini. Lo harus bisa plan out precisely, semua aktivitas lo dalam seminggu. SEMUA ya, jadi termasuk istirahat di tengah banyaknya pekerjaan dan hari libur buat diri lu sendiri. Banyak orang berpikir kalau mereka bisa menyelesaikan apa yang harus mereka lakukan, pekerjaan, to-do list, bahkan gelar mereka secepat-cepatnya dengan meminimalisir istirahat, mereka akan punya lebih banyak waktu dibanding orang lain. Padahal, ngga jarang akhirnya malah terjebak dalam “lingkaran setan” untuk bekerja tanpa henti. So slow down, dude! You have all the time you need.

Focusing on Your Personal Goals

Ngga jarang ketika terjebak dalam hustle culture, orang jadi mengabaikan apa yang benar-benar dia suka, kehidupan sosial, bahkan self care. Coba merenung sebentar, dalam sebulan ini, udah berapa temen yang lo tolak buat ketemuan dengan alasan “ngga punya waktu”? Atau, kapan terakhir lo me time?

Parahnya, kadang apa yang jadi hobi lo malah udah ngga seru lagi, karena sekarang lo “hobinya kerja”. Guys, it’s okay to take time to do the things you love! Gaada yang salah dari mengejar personal goal, fulfilling bucketlist satu per satu, punya waktu buat self care, keluarga, dan buat pergi sama teman-teman. So take that diving license you’ve been postponing your whole life, go on a random road trip with your friends, atau apapun bucket list lo, jangan lupa buat dijalanin! Karena hidup cuma sekali, sayang banget kalau sampai hidup lo cuma buat kerja.

Stop Glorifying Hustle Culture

Last but not least, lo harus berhenti untuk “mendewakan” budaya gila kerja, atau menjadikan produktivitas sebagai tolak ukur kualitas hidup lo. It’s okay to take a break when you need one. Lo juga harus tau kapan saatnya bilang “tidak”. Stop putting too much on your plate. As cliché as it sounds, tapi work-life balance itu penting banget buat kesehatan mental lo. So don’t push yourself too hard, tapi jalanilah hidup lo lewat jalan yang bikin lo bahagia.

6 thoughts on “Hustle Culture dan Generasi Millennial, Hard Work atau Toxic Positivity?”

  1. Nice article! Sebenernya budaya ‘gila kerja’ ini berbahaya sih untuk kesehatan. Apalagi sampe orang mikir kalau istirahat cuma buang waktu aja. Untuk lihat dampaknya apa aja untuk kesehatan, boleh dibaca artikel ini ya hustleculture

  2. Dimas Kurnia Pamungkas

    Kalo kata Gary Vee work-life balance orang-orang itu beda-beda. Males banget dah kalo ketemu orang yang glorify overworking dan hustle-bustle tanpa tau yang pas buat kita tuh balance nya gimana. Barangkali mau cek gimana nyari balance antara sneakers putih sama baju-baju lo, yuk mampir artikel ini

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *