Kenali Hustle Culture, Tren Gila Kerja pada Generasi Muda yang Berbahaya

Tren hustle culture pada generasi muda.
Tren hustle culture pada generasi muda yang bisa memberikan dampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental. (FREEPIK)

Kerja keras menjadi salah satu kunci untuk mencapai masa depan yang sukses. Kini hustle culture menjadi sebuah tren yang seakan perlu diikuti agar seseorang bisa sukses.

Budaya gila kerja ini telah menjadi sebuah gaya hidup yang banyak dikagumi terutama kalangan muda. Tak jarang, banyak orang yang membanggakan fakta jika dirinya tidak mendapat waktu tidur karena bekerja larut malam.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh The Finery Report, menemukan bahwa 83,8 persen responden menganggap bekerja lembur sebagai hal yang normal. Sementara 69,6 persen mengaku bahwa mereka bekerja secara rutin di akhir pekan. Selain itu, 60,8% dari mereka merasa bersalah jika tidak menambah jam kerja.

Bagi seseorang yang mengaplikasikan budaya gila kerja dalam hidupnya beranggapan bahwa istirahat hanya buang waktu saja. Lambat laun, kondisi ini dapat memberikan dampak buruk bagi kondisi fisik dan mental.

Apa itu Hustle Culture?

Dikutip dari laman Fakultas Kedokteran UNAIR, hustle culture merupakan sebuah budaya dimana seseorang merasa dirinya harus bekerja keras dan meluangkan sedikit waktu untuk beristirahat.

Hustle culture makin menguat saat figur publik menyinggung budaya ini di media sosial. Salah satunya pendiri Tesla dan SpaceX, Elon Musk, yang pernah menulis di Twitter dengan akun @elonmusk pada 2018 terkait aturan jam kerja yang perlu diterapkan.

“Tidak ada yang pernah mengubah dunia dengan 40 jam seminggu,” tulisnya. Kemudian ia juga menambahkan untuk bekerja minimal 80 jam setiap minggu alias 16 jam per hari.

Cuitan ini mendapatkan beragam respons dari netizen. Namun, banyak netizen yang mengecam Elon karena dinilai terlalu mengglorifikasikan hustle culture dan tidak sensitif isu kelelahan bekerja.

Sebetulnya, aturan batas jam kerja bagi masyarakat telah diatur oleh Pemerintah Indonesia dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja. Pemerintah menjelaskan ketentuan waktu kerja dalam dua skema.

Pertama, skema 6 hari kerja dalam 1 minggu yaitu 7 jam per hari dan 40 jam per minggu. Kedua, skema 5 hari kerja dalam 1 minggu dengan total 8 jam per hari dan 40 jam per minggu.

Dampak budaya gila kerja pada kesehatan fisik

Sebuah studi yang dipublikasikan di US National Library of Medicine, para peneliti menemukan bahwa pekerja di Eropa, Jepang, Korea, dan China yang bekerja lebih dari 50 jam per minggu memiliki peningkatan risiko penyakit kardiovaskular seperti serangan jantung dan penyakit jantung koroner.

Saat seseorang sedang stres maka tubuh akan melepaskan hormon kortisol yang bekerja keras pada jantung. Kondisi ini dapat meningkatkan risiko stroke, penyakit arteri koroner, diabetes tipe 2, dan bahkan kanker.

Hustle culture dapat mengancam kesehatan mental

Meskipun budaya gila kerja ini terlihat memotivasi, hustle culture bersifat toxic. Bekerja keras tanpa istirahat akan meningkatkan stres yang berujung burnout.

Dikutip dari Healthline, psikolog pencetus istilah burnout, Herbert Freudenberger, mengatakan bahwa burnout adalah kondisi stres berat yang menyebabkan kelelahan fisik, mental, dan emosional yang parah.

Seseorang yang mengalami burnout sering merasa tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan dan mungkin takut bangun tidur setiap paginya. Bahkan mereka dapat memiliki pandangan pesimistis terhadap kehidupan dan merasa putus asa.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *