Indonesia Kalah Mempertahankan Pulau Sipadan dan Ligitan

Pulau Sipadan dan Ligitan

Indonesia kalah dalam mempertahankan Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Negara 20 Tahun Silam. Meskipun keduanya memiliki kedekatan geografis, tetapi tidak  membuat hubungan kedua negara selalu baik. Dalam sejarah, hubungan kedua negara serumpun ibarat dua sisi mata uang, kerap mengalami pasang-surut. Berbagai konflik Indonesia-Malaysia sebelumnya sempat terjadi dan mengancam hubungan kedua negeri serumpun ini mulai dari politik, klaim kepemilikan kawasan, tenaga kerja, hingga kebudayaan. Sudah menjadi rahasia umum jika hubungan kedua negara mengalami pasang surut sejak lama dan tidak jarang memanas dan memunculkan sentimen nasionalisme.

Dimana letak Pulau Sipadan dan Ligitan ?

Pulau Sipadan dan Ligitan terletak di Laut Sulawesi sekitar 15,5 mil dari pantai timur laut pulau Kalimantan. Ligitan adalah pulau kecil dipenuhi dengan vegetasi dataran rendah yang berada pada koordinat 4’09’ LU (Lintang Utara) dan 11 8’53’ BT (Bujur Timur) yang membentang ke selatan dari Pulau Danawan dan Pulau Si Amil. Pulau Sipadan dan Ligitan terletak di Laut Sulawesi sekitar 15,5 mil dari pantai timur laut pulau Kalimantan. Ligitan adalah pulau kecil dipenuhi dengan vegetasi dataran rendah yang berada pada koordinat 4’09’ LU (Lintang Utara) dan 11 8’53’ BT (Bujur Timur) yang membentang ke selatan dari Pulau Danawan dan Pulau Si Amil.

Awal Mula Persidangan antara Indonesia dan Malaysia.

Pada 1994, Indonesia dan Malaysia menunjuk perwakilan masing-masing untuk melakukan negosiasi. Moerdiono , yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara ditunjuk untuk mewakili Indonesia dibantu Direktur Urusan Hukum Kementerian Luar Negeri. Sedangkan Malaysia menunjuk wakil perdana menteri mereka, Anwar Ibrahim. Di sisi lain, opini publik dan keterlibatan pers dan media juga membuat kokoh posisi masing-masing pihak yang bersengketa. Kedua perwakilan melaksanakan perundingan yang sulit menemukan pemecahan dan intensif dengan empat kali pertemuan yang dilaksanakan pada 17 Juli 1995 dan 16 September 1995 di Jakarta. Pada 22 September 1995 dan 21 Juli 1996 pertemuan kembali dilaksanakan di Kuala Lumpur. Namun, tidak ada titik terang bahwa Indonesia dan Malaysia mampu menyelesaikan sengketa kedaulatan atas kedua pulau melalui jalur perundingan, hingga kedua negara bersepakat untuk menyelesaikan masalah kedaulatan atas kedua pulau melalui Mahkamah Internasional. Secara prosedural, penyelesaian melalui Mahkamah Internasional harus didahului dengan kesepakatan negara yang bersengketa sesuai dengan Pasal 36 ayat I Statuta Mahkamah Internasional.

Keputusan Mahkamah Konstitusi International terhadap Konflik Pulau Sipadan dan Ligitan

Keputusan Mahkamah Internasional tentang sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia-Malaysia, dibacakan pukul 10.00 waktu Den Haag atau pukul 16.00 WIB. Hasil ini diambil melalui pemungutan suara. Dari 17 hakim,  enam belas hakim memilih memenangkan Malaysia, satu orang hakim memberikan keputusan yang menguntungkan Indonesia. Malaysia dan kolonial Inggris dianggap lebih efektif merawat dan menjaga Sipadan jika dibandingkan dengan Indonesia. Indonesia gagal meyakinkan Mahkamah Internasional terhadap allocation line yang digunakan dalam Konvensi Belanda dan Inggris 1891 yang menetapkan batas wilayah darat dan batas wilayah laut di sebelah timur Borneo Utara, yaitu pada garis paralel 4◦10’ LU. Poin penting dalam penentuan pemberian kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan pada Malaysia terletak pada ada-tidaknya effectivities yang dilakukan oleh Inggris di kedua pulau tersebut. Kalau Indonesia mempunyai bukti tentang adanya peraturan dan tindakan nyata Belanda di kedua pulau seperti yang dilakukan oleh Inggris, bisa jadi kedudukan Indonesia dan Malaysia sama kuat dan sulit bagi hakim untuk mengambil keputusan. Penyelesaian sengketa dua pulai ini tidak dilihat sebagai upaya untuk menentukan siapa yang menang maupun siapa yang kalah. Nilai penting dari penyelesaian melalui Mahkamah Internasional adalah sebagai upaya untuk menghindari terjadinya perang. Sudah sepatutnya penyelesaian sengketa antar Indonesia dan Malaysia dilakukan secara damai mengingat hubungan mereka dalam organisasi ASEAN (Assosiation of Southeast Asian Nation)

Kondisi Pulau Sipadan dan Ligitan Sekarang

Pulau Sipadan yang dulu terabaikan kini berkembang sangat drastis dalam kurun satu dekade. Kekayaan Sipadan bukan semata anugerah alam. Sentuhan tangan-tangan piawai Malaysia dalam mengelola pariwisata yang berwawasan lingkungan mengubah itu semua. Pemerintah Malaysia berani mengambil langkah-langkah tidak populer bagi industri pariwisata demi menjaga lingkungan. Di tengah godaan untuk meraup keuntungan maksimal dari banyaknya jumlah wisatawan, Malaysia menereapkan larangan-larangan jika berwisata ke Pulau Sipadan dan Ligitan seperti pembatasan jumlah wisatawan, Larangan penyelam menyentuh satwa laut dan memancing di laut Sipadan, jika melanggar area larangan memancing, akan dikejar oleh petugas jaga hingga tertangkap. Sanksi berupa denda serta kurungan penjara pun menanti. Komitmen Malaysia merawat kekayaan alam kedua pulau yang pernah menjadi senketa itu berhasil menempatkan Travel dan Tourism Competitiveness Index Malaysia di urutan ke-32 dari 66 negara menurut Global Competitiveness Index yang dikeluarkan World Economic Forum. Meski demikian, kepemilikan Malaysia terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan tidak memberikan efek penuh pada batas maritim, karena Malaysia tidak bisa menggunakan klausul yang dimiliki negara kepulauan, seperti Indonesia, untuk menarik batas wilayahnya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *